• Duapuluh kilometer Yang Menggugah Spirit Untuk Mendidik

     

    Semula saya mengira tahun pelajaran 2020-2021 akan sudah dapat dilakukan pembelajaran tatap muka setelah selama empat bulan pembelajaran tatap muka ditiadakan sejak bulan Maret 2020. Namun ternyata pandemi covid 19 belum berakhir. Saya membayangkan situasi akan menjadi semakin sulit karena begitu banyak kendala yang dihadapi selama pembelajaran jarak jauh. Bukan hanya siswa dan orang tua, sebagai seorang guru saya merasa jenuh, lelah, dan khawatir. Namun toh saya tetap harus mengikuti kebijaksanaan dinas pendidikan tentang bentuk kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Salah satunya adalah kegiatan homevisit pada saat yang memungkinkan, yaitu kunjungan guru ke rumah siswa untuk melakukan pendampingan belajar.  

                    Saya teringat perjalanan pertama saya melakukan homevisit ke salah satu kelompok murid di Kecamatan Nguntoronadi. Ada rasa enggan untuk berangkat karena jauhnya jarak yang harus saya tempuh dan buruknya kondisi jalan. Kelompok ini adalah kelompok yang terjauh. Saya perlu bersiap lebih pagi dari biasanya karena  jarak yang harus saya tempuh dari Baturento menuju Nguntoronadi sekitar 20 kilometer atau 30 menit perjalanan mengendarai sepeda motor untuk bertemu empat murid saya di sana.              

    Perjalanan pertama kali menuju Nguntoronadi terasa sangat jauh dan melelahkan. Tangan saya kesemutan karena selain jauhnya jarak yang harus saya tempuh. Ditambah lagi motor saya tidak bisa dipaksa melaju kencang, mungkin karena faktor umur mesin motor matic yang sudah berumur 11 tahun. Kondisi jalan juga buruk sehingga saya harus waspada menghindari jalan bergelombang dan berlubang. Beberapa kali terjadi kecelakaan tunggal sepeda motor karena pengendara kurang waspada terhadap kondisi jalan.

                    Perjalanan ini menjadi titik awal yang merubah saya. Setelah beberapa kilometer perjuangan saya menempuh perjalanan rasa lelah seolah menjadi tidak terasa dan berganti dengan rasa haru karena dari perjalanan ini saya mendapatkan gambaran yang lebih jelas bagaimana empat murid saya ini selama lima tahun lebih menempuh perjalanan sejauh ini untuk bisa belajar di SD Kanisius Baturetno setiap harinya.

    Perjalanan 20 kilometer setiap hari menuju ke sekolah bukanlah hal yang mudah untuk usia mereka yang masih dalam tahap belajar tentang keteraturan, kemandirian dan tanggung jawab. Saya pun  membayangkan tentu selalu ada rasa khawatir orang tua setiap kali melepas putra-putrinya yang masih kecil untuk bersekolah di tempat yang jauh. Namun toh mereka juga mempercayakan anaknya belajar di SD Kanisius Baturetno. Saya tidak pernah melihat wajah anak-anak yang murung, lelah, atau bosan. Setiap kali mereka turun dari mobil antar jemput di depan gerbang sekolah kami menyambut wajah-wajah yang ceria dan semangat.

                    Saya sering mendengar cerita dari mereka tentang rutinitas pagi berangkat sekolah. Dari mereka saya tahu bahwa setiap pagi mereka harus bangun pukul lima, paling lambat pukul setengah enam karena pukul enam tepat beberapa murid harus bersiap di depan rumah dan yang lainnya di tepi jalan untuk menunggu mobil antar jemput sekolah. Saya juga mendengar cerita sulitnya  membiasakan bangun pagi ketika mereka masih awal menjadi siswa kelas satu. Saya dapat membayangkan orang tua harus bersabar dan telaten menghadapi anaknya yang rewel saat dibangunkan. Orang tua pun pastilah sibuk menyiapkan keperluan anaknya. Namun  akhirnya  bangun pagi berhasil menjadi salah satu kebiasaan baik mereka.

                    Cerita-cerita itu membuat saya tahu dan paham situasi yang dihadapi murid-murid dari Nguntoronadi. Namun hal itu sangat berbeda pengaruhnya terhadap diri saya sampai saat saya sendiri melakukan perjalanan homevisit ke Nguntoronadi untuk pertama kalinya. Perjalanan 20 kilometer itu menggugah batin saya, betapa semangat sekolah murid-murid dari Nguntoronadi begitu besar. Bangun sangat pagi, menempuh jarak yang jauh dengan kondisi jalan yang buruk, belum lagi harus berdesakan di dalam mobil antar jemput karena kapasitas tempat duduk yang tidak mencukupi adalah kondisi yang mereka temui satiap hari namun tidaklah menyurutkan semangat mereka bersekolah. Saya pun yakin bahwa rasa cemas orang tua melepas anaknya bersekolah di tempat yang jauh terkalahkan oleh besarnya kepercayaan dan harapan orang tua  terhadap pendidikan terbaik SD Kanisius Baturetno.

    Sepanjang perjalanan duapuluh kilometer menuju Nguntoronadi saya berefleksi. Saya bertanya pada diri sendiri: Apakah saya akan membiarkan begitu saja semangat anak yang berkobar untuk bersekolah? Apakah saya akan tak acuh pada harapan orang tua terhadap pelayanan pendidikan terbaik dari SD Kanisius Baturetno? Semangat anak-anak dan besarnya harapan orang tua mulai mengusik batin saya.Pada saat itulah saya menemukan spirit dalam jiwa pendidik saya bahwa pelayanan pendidikan yang terbaik harus diberikan dalam situasi sesulit apapun.

                    Saat tiba di rumah salah satu siswa untuk melakukan homevisit saya melihat empat siswa sudah menunggu saya di teras rumah dengan wajah ceria menyiratkan semangat ingin belajar di dampingi oleh guru sehingga bertambahlah spirit dan keyakinan saya untuk melakukan pendampingan belajar yang terbaik bagi murid-murid saya. Sudah saatnya saya berhenti mengeluh dan merasa pesimis. Namun sebaliknya saya akan berjuang memberi pendampingan belajar yang  optimal dalam situasi sesulit apapun terutama di masa pandemi ini.

     

    Caecilia Retnaningtyas Sabdojati, S. Pd.

     

  • You might also like

    1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
  • ()